![]() |
ISLAND OF NEW GUINEA |
wilayah papua barat berintegrasi kedalam negara indonesia sejak tahun 1960-an melalui di polomasi persengketaan dengan belanda dan indonesia sampai mengadakan Referendum atau penentuan pendapat rakyat (pepera) yang di adakan pada tahun 1969 untuk menentukan status daerah west papua yang sudah merdeka dari tangan belanda yang sebelumnya, tetapi belanda dan indonesia merampas negeri ini dengan Pemilihan suara ini dengan secara ilegal menanyakan terhadap orang papua, dengan pemunggutan Para wakil yang memilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB.,belanda dan indonesia untuk penyerahan west papua melalui perjanjian new york adalah sebuah perjanjian ilegal atau tak sesuai yang diprakarsai oleh amerika serikat pada1962 untuk terjadinya pemindahan kekuasaan irian barat/west papua dari belanda ke indonesia.
sebelum mengadakan gelar referendum.tidak seluruhnya orang papua memilih bergabung ke dalam bingkai NKRI.hasil pepera yang di gelar sejak itu? bukan hasil dari ke seluruhan populasi penduduk papua,ribuan harta benda dan nyawa orang papua berjatuhan tak terhitung saat itu, dalam pembebasan irian barat dengan upaya-upaya diplomasi ,konfrontasi, bahkan sampai upaya kolonialisme.
Upaya diplomasi sendiri telah dilakukan baik melalui perundingan langsung dengan pihak Belanda, ataupun upaya diplomasi melalui sidang umum PBB.
Namun berbagai upaya diplomasi tersebut tidak membuahkan hasil, Belanda tetap ingin merampas west papua sebelumnya Irian Barat dan terus berupaya mempertahankan keinginannya sebagai negara federal.
Akhirnya langkah konfrontasi-pun ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam upaya mendapatkan haknya, yaitu mengembalikan Irian Barat/west papua yang sudah merdeka itu ke pangkuan Ibu pertiwi.
Diantara bagian dari langkah-langkah konfrontasi tersebut adalah dengan diumumkannya Trikora oleh presiden Soekarno.
ISI TRIKORA
Pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Ir. Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta.
Isi Trikora sebagai berikut.
1) Gagalkan pembentukan negara boneka irian barat/Papua barat buatan Belanda. 2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia. 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
upaya
langkah kolonialisme:bagian ini sangat menyerikan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat)
adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan indonesia terhadap orang papua untuk
menggabungkan wilayah papua barat kedalam wilayah indonesia. Pada tanggal 19 desember
1961, soekarno (PRESIDEN INDONESIA) mengumumkan pelaksanaan TRIKORA di
Alun-alun Utara yogyakarta. Soekarno juga membentuk komando mandala. Mayor
jendera soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah
merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer besar-besaran terhadap
orang papua. untuk menakuti menuju menggabungkan Papua barat ke dalam Indonesia.
Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini.
proses Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969. dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua
Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).
1.
Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan
bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari
kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari
50-an tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).
Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan
di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga
kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah,
sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani
dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak
dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara
Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua
adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras
Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah
perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai
hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup
sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga
tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah.
Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal,
bahwa:
“Dalam
kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun
Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada
kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan
moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa
kami berbeda dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid
mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua
berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan
Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara
Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup
yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama
Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang
sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif,
sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian
dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia
untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan
orang Papua)
2. Hubungan
Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda
selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh
Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan
jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara
terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya
dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang
telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang
sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional
(perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi
perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi
yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam
(1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan
Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini,
terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua
Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan
musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia
sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat
berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan
rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah
Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda
di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong
Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu
bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub
dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat
Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air
yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia
dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan
penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu
Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa
Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”.
Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga
tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah
dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang
masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan
Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan
Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).[1] Karena itu pernyataan berdirinya Negara
Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang
sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan
Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya
adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam
wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat
dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak
pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas
mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai
jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian
itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU
No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan
sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan
Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian
Propinsi Irian Barat Perjuangan.[2]
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua
Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa
persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
a. Sebelum penandatangan Perjanjian
Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat
menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat
menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan
pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak
ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.[3]
b. Dalam Konferensi Meja Bundar yang
dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati
bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya
ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat
akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat
dan Kerajaan Belanda.[4] Tetapi dalam kesempatan yang sama pula
status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh
Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak
perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”[5]
c. Dalam konferensi para
menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal
25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para
Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut,
masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950
dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk
menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland.
Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang
mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda.
Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan
diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa
batas waktu yang ditentukan. [6]
d. Karena dirasa wilayah Papua Barat
dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah
Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Konferensi Asia Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan
buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang
diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai
ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
3. Sejarah
Kemerdekaan Papua Barat
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat
perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat
untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945.[7] Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah
Pamongpraja (Bestuurschool)[8] di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik
400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat
yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad
(Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini
adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus
Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B.
Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana
(Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan
Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch
(mewakili Manokwari).[9] Setelah melakukan berbagai persiapan
disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan
Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk
membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite
ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil
melahirkan Manifesto Politik yang isinya:[10]
1. Menetukan nama Negara :
Papua Barat
2. Menentukan lagu
kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera
Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan bahwa bendera Bintang
Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang
Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November
1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah
Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang
Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi
Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera
Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu
kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan
oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi
Kemerdekaan Papua Barat secara de facto[11] dan de jure[12] sebagai sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat.
4. Alasan
Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19
hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri
Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara
Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di
Irian Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum
guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno
sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah
Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di
Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara
dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi
Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung,
Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi
Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan
Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).[13] Melalui operasi ini wilayah Papua Barat
diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah
Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat
ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh
Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat.
Keempat klaim itu adalah:[14]
1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat,
oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore.
Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia
Bagian Timur”.
3. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia
Belanda.
4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme
barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk
mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk
Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno
memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua
Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan
Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede
politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.Dalam
kaitan dengan pengungkapan rekayasa PEPERA 1969 ini, Dr. John Saltford dalam
penelitiannya di Markas Besar PBB di New York, dengan Judul “ UNITED NATIONS
INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN ( INDONESIAN WEST
NEW GUINEA) 1968 TO 1969” mengungkapkan dokumen-dokumen signifikan tentang
pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis di Papua.
-
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat tahun 1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua. Laporan Ortiz Sanz dalam Sidang Umum PBB bulan September 1969 sebagai berikut:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this important provision was not fully implemented and the Administration exercised at all times a tight political control over the population”
(UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70).http://paschall-ab.blogspot.co.id/2012/03/penyelenggaraan-pepera-1969-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar